Kisah ini berkenaan dengan Imam Ya’qub bin
Ibrahim Al-Ansari; masyhur dengan panggilan Abu Yusuf (w. 182 H). Beliau
murid kesayangan Imam Abu Hanifah. Beliau sangat bijak, hafalannya kuat
dan banyak ilmu. Di antara ramai murid Abu Hanifah yang lain, Abu Yusuf
selalu terdepan dalam semua perkara.
Pada suatu hari, Abu Yusuf merasa ilmu yang dimilikinya sudah mencukupi. Saatnya untuk menjadi tokoh ulama yang siap menjawab semua permasalahan umat. Beliau lalu meninggalkan majlis Abu Hanifah dan membuka majelis ilmu sendiri. Dalam majelis itu, Abu Yusuf mempersilakan setiap orang untuk menimba ilmu atau mengajukan soalan kepadanya.
Mengetahui perkara ini, Abu Hanifah berniat menyadarkan muridnya. Diam-diam, beliau mengutus seseorang ke majelis Abu Yusuf dengan beberapa soalan untuk mengujinya.
Orang itu berkata kepada Abu Yusuf: “Saya menyerahkan sepotong kain kepada penjahit untuk dijadikan baju. Apabila saya tanyakan, penjahit itu mengingkari pernah menerima kain daripada saya. Namun esoknya, ia memberi saya kain itu yang telah dijahit menjadi baju. Soalan saya: apakah ia berhak menerima upah?”
Abu Yusuf menjawab: “Ia berhak menerima upah.” Orang itu berkata: “Jawapanmu salah.”
Abu Yusuf merubah jawabannya: “Ia tidak berhak menerima upah.” Orang itu kembali berkata: “Jawapanmu salah.” Abu Yusuf menjadi sangat bingung.
Orang yang telah dilatih Abu Hanifah ini lalu berkata: “Jawaban yang benar adalah: jika baju itu dijahit sebelum ia mengingkari kain, maka ia berhak menerima upah. Namun jika kain itu dijahit setelah ia mengingkari kain, maka ia tidak berhak.”
Orang ini terus mengajukan beberapa soalan lain. Setiap kali Abu Yusuf menjawab, ia menyalahkan jawapannya lalu mengajukan jawapan yang tepat.
Diskusi ini jadi menyadarkan Abu Yusuf akan kejahilan dirinya. Dirinya ternyata belum layak menjadi seorang ulama, malah masih perlu banyak belajar daripada ulama. Akhirnya, beliau memutuskan kembali ke majelis ilmu Abu Hanifah untuk melanjutkan pengajiannya.
Apabila melihat Abu Yusuf, Abu Hanifah tersenyum dan berkata: “Engkau telah menjadi kismis sebelum menjadi anggur.”
Pada suatu hari, Abu Yusuf merasa ilmu yang dimilikinya sudah mencukupi. Saatnya untuk menjadi tokoh ulama yang siap menjawab semua permasalahan umat. Beliau lalu meninggalkan majlis Abu Hanifah dan membuka majelis ilmu sendiri. Dalam majelis itu, Abu Yusuf mempersilakan setiap orang untuk menimba ilmu atau mengajukan soalan kepadanya.
Mengetahui perkara ini, Abu Hanifah berniat menyadarkan muridnya. Diam-diam, beliau mengutus seseorang ke majelis Abu Yusuf dengan beberapa soalan untuk mengujinya.
Orang itu berkata kepada Abu Yusuf: “Saya menyerahkan sepotong kain kepada penjahit untuk dijadikan baju. Apabila saya tanyakan, penjahit itu mengingkari pernah menerima kain daripada saya. Namun esoknya, ia memberi saya kain itu yang telah dijahit menjadi baju. Soalan saya: apakah ia berhak menerima upah?”
Abu Yusuf menjawab: “Ia berhak menerima upah.” Orang itu berkata: “Jawapanmu salah.”
Abu Yusuf merubah jawabannya: “Ia tidak berhak menerima upah.” Orang itu kembali berkata: “Jawapanmu salah.” Abu Yusuf menjadi sangat bingung.
Orang yang telah dilatih Abu Hanifah ini lalu berkata: “Jawaban yang benar adalah: jika baju itu dijahit sebelum ia mengingkari kain, maka ia berhak menerima upah. Namun jika kain itu dijahit setelah ia mengingkari kain, maka ia tidak berhak.”
Orang ini terus mengajukan beberapa soalan lain. Setiap kali Abu Yusuf menjawab, ia menyalahkan jawapannya lalu mengajukan jawapan yang tepat.
Diskusi ini jadi menyadarkan Abu Yusuf akan kejahilan dirinya. Dirinya ternyata belum layak menjadi seorang ulama, malah masih perlu banyak belajar daripada ulama. Akhirnya, beliau memutuskan kembali ke majelis ilmu Abu Hanifah untuk melanjutkan pengajiannya.
Apabila melihat Abu Yusuf, Abu Hanifah tersenyum dan berkata: “Engkau telah menjadi kismis sebelum menjadi anggur.”